KAIDAH FIQIH
BAGIAN KEDUA
KAIDAH FIQIH
Kaidah
ke-1
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya: “Segala sesuatu tergantung pada tujuannya."
Sabda Rasulullah SAW. :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya:
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang
telah diniatkan.” (HR. Bukhari Muslim).
Contoh
kaidah:
1. Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.
2. Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapan seorang suami
kepada istrinya: أَنْتِ خَالِيَةٌ (engkau
adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan menceraikan dengan ucapannya
tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika ia tidak berniat
menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah
ke-2
مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْن فَالخَطَأُ فِيْهِ
مُبْطِلٌ
Artinya: “Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan
dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.”
Contoh
kaidah:
1. Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat ashar
atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.
2. Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada
kafarat qatl (pembunuhan).
Kaidah
ke-3
مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا يُشْتَرَطُ
تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلًا إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
Artinya: “Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan
tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam
penjelasan secara rinci membahayakan.”
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang imam
bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah
Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin),
maka shalat Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief
yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam
shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban
menentukan siapa imamnya.
Kaidah
ke-4
مَا لَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلَا تَفْصِيْلًا
إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُر
Artinya: ‘Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara
global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah
membahayakan.”
Contoh kaidah
:
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah
kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia
berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka
shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan
tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau
terperinci (tafshil).
Kaidah
ke-5
مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللَّافِظِ
Artinya: “Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang
mengucapkan.”
Contoh
kaidah :
1. Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari
Kutowinangun Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang
istri bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat,
Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq”
Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya,
namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya.
Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan
memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya
jika ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
2. Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya. Namun
apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan
menambahkan masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut pendapat
yang sahih, shalatnya menjadi batal.
Kaidah
ke-6
اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
Contoh
kaidah :
1. Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat shalatnya?
maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang diyakini.
2. Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A
PP. Putra An-Nawawi. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; "batal durung
yo..? kayane aku nembe demek..." maka hukum thaharah-nya tidak hilang
disebabkan keraguan yang muncul kemudian.
3. seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci
atau belum, maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:
مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يَرْتَفِع إِلَّا بِيَقِيْنٍ
Artinya: “Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa
dihilangkan kecuali dengan adanya keyakinan yang lain.”
Kaidah
ke-7
الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Pada
dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh
kaidah :
1. Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar
maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam
(al-aslu baqa-u al-lail).
2. Seseorang yang makan (berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad
terlebih dahulu dan kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum,
maka puasanya batal. Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u
al-nahr).
Kaidah
ke-8
الأَصْلُ بَرَأَةُ الذِّمَّةِ
Artinya: “Hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.”
Contoh
kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah
bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai
hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab.
Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
Kaidah
ke-9
الأَصْلُ العَدَمُ
Artinya: “Hukum asal adalah ketiadaan.”
Contoh
kaidah :
1. Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos Fahmi.
Dalam kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-'amil),
sedangkan Bos Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir
perjanjian, Kang Khumaidi melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak
mendapat untung. Hal ini diingkari Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang
dibenarkan adalah ucapan orang Bruna yang bernama Kang Khumaidi, karena pada
dasarnya memang tidak adanya tambahan (laba).
2. Tidak
diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya
tidak adanya larangan (dalam muamalah).
Kaidah
ke-10
الأَصْلُ فِى كُلِّ وَاحِدٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Artinya: “Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih
dekat zamannya.”
Contoh
kaidah :
1. Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga
cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul perut si
wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi
dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang
bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati. Dalam
kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi
tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding
pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
2. Seorang santri kelas II MDU bernama Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh
teman sekamarnya; “Kang Kabul, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak
ingat kapan aku mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena
baru saja menemukan kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi
zamanihi” saat muthala’ah Kitab Mabadi' Awwaliyah, santri yang demen banget
lagu-lagu Hindia ini spontan menjawab; “Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan
mengulang shalat mulai sejak terakhir kamu bangun tidur sampai sekarang.”
Kaidah
ke-11
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
Artinya: “Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.”
Contoh
kaidah :
1. Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk
berdiri ketika shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu
juga ketika ia merasa kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan
melakukan shalat dengan tidur terlentang.
2. Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan
untuk menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.
3. Pendapat Imam Syafi'i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang bepergian
tanpa didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi'i:
الأَمْرُ إِذَا ضَاقَ اتَّسَعَ
Sesuatu,
ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:
الأَشْيَاءُ إِذَا ضَاقَتْ اتَّسَعَ
Ketika
keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
KERINGANAN HUKUM SYARA’
Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar'i), meliputi 7 macam, yaitu:
1. Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti
menggugurkan kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena
adanya 'uzdur (halangan).
2. Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti
diperbolehkannya menqashar shalat.
3. Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti
wudhu dan mandi dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi
isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
4. Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu
pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' taqdim, mendahulukan zakat sebelum
khaul (satu tahun), mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.
5. Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu
pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan
bagi yang sakit dan orang dalam perjalanan dan mengakhirkan shalat karena
menolong orang yang tenggelam.
6. Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti
diperbolehkannya menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
7. Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah
urutan shalat dalam keadaan takut (khauf).
Kaidah ke-12
الأَشْيَاءُ إِذَا اتَّسَعَ ضَاقَتْ
Sesuatu
yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh
kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi,
sedangkan banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa
(perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:
كُلُّ مَا تَجَوَّزَ حَدُّهُ إِنْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
Setiap
sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.
Kaidah ke-13
الضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya
harus dihilangkan.
Contoh
kaidah:
1. Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya 'aib
(cacat) pada barang yang dijual.
2. Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan
perempuan karena adanya 'aib.
Kaidah ke-14
الضَّرَرُلَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahaya
tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Contoh
kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan
makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak tahannya menahan
lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan) kepunyaan Lutfi
yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan mbah Yoto
-walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa
dibenarkan karena Lutfi juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu
kelaparan.
Kaidah ke-15
الضَّرُوْرَاتُ تُبٍيْحُ المَحْظُوْرَاتِ
Kondisi
darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh kaidah:
1. Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi,
ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan
begal, semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan
-sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa
menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman
nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli
makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Rahman
seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan
mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si
babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan
sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Rahman
langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar
mengobati rasa lapar.
Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut
diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang.
2. Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.
Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:
لاَ حَرَامَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ وَلَا كَرَاهَة مَعَ
الحَاجَةِ
Tidak ada
kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh
ketika ada hajat
Kaidah ke-16
مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Sesuatu
yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.
Contoh
kaidah:
1. Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang
dalam kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu
sekira cukup untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia.
selebihnya (melebihi kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak
diperbolehkan.
2. Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat
boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka
tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.
Kaidah
ke-17
الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Kebutuhan
(hajat) terkadang menempati posisi darurat.
Contoh kaidah:
1. Diperbolehkannya Ji'alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan
hutang piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
2. Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam
muamalah atau karena khithbah (lamaran).
Kaidah ke-18
إِذَا تَعَارَضَ المَفْسَدَتَانِ رُعِيَ أَعْظَمُهُمَا
ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Ketika
dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih
besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.
Contoh kaidah:
1. Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang
dikandungnya diharapkan masih hidup.
2. Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang
ditimbulkannya lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
3. Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya
(timbulnya rasa aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
4. Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia
tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko
Setello yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.
Kaidah
ke-19
دِرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Menolak
mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Contoh kaidah:
1. Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu
yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk
menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
2. Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci
merupakan sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang
sedang ihram karena untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.
Kaidah
ke-20
الأَصْلُ فِى الأَبْضَاعِ التَّحْرِيْم
Hukum asal
farji adalah haram.
Contoh kaidah:
1. Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam
sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan
tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka
menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah,
sehingga oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi
itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama
saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika
jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan,
sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya
kesempatan berbuat zina.
2. Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah
(budak perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat
menyerahkan jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil)
tersebut meninggal. Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu
belum halal bagi muwakkil karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya,
dikhawatirkan wakil membeli jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka
dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi
tuannya tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya
sebagaimana contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang
yang mewakilkan).
Kaidah
ke-21
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adat bisa
dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah:
1. Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
2. Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung
pada kebiasaan (adapt perempuan sendiri).
Kaidah
ke-22
مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلَا ضَابِطَ لَهُ
فِيْهِ وَلَا فِى اللُّغَةِ يَرْجِعُ إِلَى
العُرْفِ
Sesuatu
yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya
dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan
(al-"urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
1. Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.
Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat
niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang
lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di
anggap cukup.
2. Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’
adalah tidak sah. Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.
Kaidah
ke-23
الإِجْتِهاَدُ لَا يَنْقُدُ بِالإِجْتِهَادِ
Ijtihad
tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah:
1. Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan
ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap
sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan
ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat
rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
2. Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara,
kemudian ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama
tetap sah (tidak rusak).
Kaidah
ke-24
الإِ يْثَارُ بِالعِبَادَةِ مَمْنُوْعٌ
Mendahulukan
orang lain dalam beribibadah adalah dilarang.
Contoh kaidah:
1. Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
2. Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu.
Artinya, ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan
teman kita juga membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu
kepadanya karena akan menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air
yang akan kita gunakan untuk bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air
tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
Artinya:
…Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…
Kaidah ke-25
الإِ يْثاَرُ بِغَيْرِالعِبَادَةِ مَطْلُوْبٌ
Mendahulukan
orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.
Contoh kaidah:
1. Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
2. Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
3. Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.
Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”
Kaidah ke-26
تَصَرُّفُ الإِمَامُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
Kebijakan
pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Contoh kaidah:
1. Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak
(mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat
kebutuhannya sama.
2. Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengankat seorang fasiq
menjadi imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal
ini kurang baik (makruh).
3. Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada
seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih
membutuhkan.
Rasulullah SAW. bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.
Kaidah
ke-27
الحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
Hukum
gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah:
1. Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual
dengan wanita lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).
2. Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut'ah, nikah tanpa wali atau
saksi atau setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had
sebab masih adanya perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah
mut'ah dan nikah tanpa wali dan sebagian lagi berpendapat sebalikannya.
3. Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya,
atau milik anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.
4. Orang meminum khamr (arah) untuk berobat tidak dikenai had karena masih
terdapat khilaf antar ulama'.
إِدْرَؤُوْا الحُدُوْدَ بِالشُّبُهَاتِ
Tinggalkanlah
oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya) berbagai ketidak jelasan.
Kaidah
ke-28
مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu
yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,maka
hukumnya wajib.
Contoh Kaidah:
1. Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat
berwudhu.
2. Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat membasuh
lengan dan kaki.
3. Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan
wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
Kaidah
ke-29
الخُرُوْجُ مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
Keluar
dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah:
1. Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke
kepala dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan imam malik
berpendapat bahwa dalk dan isti'ab al-ro'sy (meneteskan kepala dengan air)
adalah wajib hukumnya.
2. Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.
3. Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena
keluar dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.
4. Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika
membuang hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk
keluar dari khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a. Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain.
Seperti lebih diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam)
dari pada melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanafiah tidak
dipertimbangkan karena adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan
digabungkan
b. Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti
disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama
Hanafiah menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima
puluh orang sahabat, Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua
tangannya.
c. Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga kecil kemungkinan
terulangnya keslahan serupa. Dengan alas an itu, maka berpuasa bagi musafir
yang mampu menahan lapar dan dahaga aladah utama, dan tidak dipertimbangkan
adanya pendapat para kaum Zahiruasa musafir itu tidak sah.
Kaidah
ke-30
الرُّخْصَةُ لَاتُنَاطُ بِالمَعَاصِى
Keringanan
hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah:
1. Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum
karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan
puasa.
2. Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga
tidak diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.
Kaidah
ke-31
الرُّخْصَةُ لَاتُنَاطُ بِالشَكِّ
Keringanan
hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.
Contoh kaidah:
1. Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu mengenai
jauh jarak yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat
untuk meng-qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini, kang Aziz tidak
boleh meng-qashar shalat.
2. Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar,
maka yang harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.
Kaidah
ke-32
مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلًا كَانَ أَكْثَرُ فَضْلًا
Sesuatuyang
banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaanya.
Contoh kaidah:
1. Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari
pada wasl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya niat,takbir dan
salam.
2. Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan dari
pahala orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur mirung, maka
pahalanya adalah setengah dari orang yangh shalat dengan duduk.
3. Memishkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama
dari pada melaksanakan bersama-sama.
Rasulullah SAW. bersabda:
أَجْرُكَ عَلَى قَدْرِ نَصْبِكَ
Artinya:
“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)
Kaidah
ke-33
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
Jika tidak
mampu mengerjakan secara keseluruhan
maka tidak boleh meninggalkan semuanya
Contoh kaidah:
1. Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu
dengan dirham maka lakukanlah.
2. Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi
(fan) sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.
3. Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh
rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ بَعْضُهُ
Sesuatu
yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh tinggalkan
sebagiannya.
Kaidah
ke-34
المَيْسُوْرُ لَا يَسْقُطُ بِالمَعْسُوْرِ
Sesuatu
yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah:
1. Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh
anggota badan yang tersisah ketika bersuci.
2. Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup aurat
berdasarkan kemampuannya tersebut.
3. Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib
membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.
4. Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada ditempat
jauh (ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada
ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya:
“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari
Muslim)
Kaidah
ke-35
مَا حَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلَبُهُ
Sesuatu
yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.
Contoh kaidah:
1. Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
2. Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah
orang-orang yang meratapi kematian orang lain.
Kaidah
ke-36
مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
Sesuatu
yang haram diambil,maka haram pula memberikannya.
Contoh kaidah :
1. Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
2. Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga
upah meratapi kematian orang lain.
Kaidah
ke-37
الخَيْرُ المُتَعَدِّي أَفْضُلُ مِنَ القَاصِرِ
kebaikan
yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya sedikit
(terbatas).
Contoh kaidah:
1. Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
2. Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah
menggugurkan dosa umat daripada orang yang melakukan fardhu 'ain.
Kaidah
ke-38
الرِّضَى بِالشَّيْءِ رِضًى بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela akan
sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.
Contoh kaidah:
1. Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah satu dari
keduanya. Maka tidak boleh mengembalikan kepada walinya.
2. Seseorang memita tangannya di potong dan berakibat kepada rusaknya anggota
tubuh yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotong
tangan.
3. Memakai wangi-wangian sebelum melaksanankan ihram, teapi wanginya bertahan
sampai waktu ihram maka tidak dikenahi fidyah.
Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah di atas yaitu :
المُتَوَلِّدُ مِنْ مَأْذُوْنٍ لَا أَثَرَ لَهُ
Hal-hal
yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat ijin
tidak memiliki dampak apapun.
Kaidah
ke-39
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ العِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Hukum itu
berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun
ketiadaannya’illatnya.
Contoh kaidah :
1. Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian
terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah
menjadi cuka maka halal.
2. Memasuki rumah orang lain atau memakai pakaiannya tanpa adanya ijin adalah
haram hukumnya. Namun ketika namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan,
maka tidak ada masalah didalamnya (boleh).
3. Alasan diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan. Andaikata
unsure yang merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Nabi SAW.
bersabda: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.
Kaidah
ke-40
الأَ صْلُ فِى الأَ شْيَاءِ الإِبَاحَة
Hukum
ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan.
Contoh kaidah :
1. Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah
lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso
tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah
melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di
restourant yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging
pesenannya itu halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas,
maka daging itu boleh dimakan.
2. Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik Koci.
ketika pemilik sangkar (Koci) melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan
ingin memilikinya, namun Koci masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau
tidak. Maka hukumnya burung merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
3. Ketika ragu akan besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal
suatu benda maka hukum benda tersebut boleh untuk digunakan.
4. Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata
sesungguhnya memakan daging Jerapah hukumnya mubah.
مَا أَحَلَّ اللهُ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ اللهُ
فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَو
Sesuatu
yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah adalah
haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan pengampunan
dari-Nya.
﴿ وَاللهُ أَعْلَمْ ﴾
Komentar
Posting Komentar